Public Lecture: Contemporary Art and Creative Economy

FBS - Karangmalang. FBS UNY bekerjasama dengan American Institute for Indonesian Scholar mengadakan Public Lecture: Contemporary Art and Creative Economy.  Kamis, 8 Maret 2018. Ruang Seminar PLA Lantai 3 FBS UNY. Pembicara: Dr. Hajar Pamadhi dari FBS UNY dan Katherine Bruhn,Ph.D. Cand. dari University of California, Berkeley.

Yogyakarta memiliki keunikan yang patut dibanggakan dalam industri kreatif, terutama seni rupa. Berbeda dengan beberapa kota lain di Indonesia, Yogyakarta memiliki sejumlah infrastruktur yang mendukung para seniman untuk memperkenalkan karya mereka kepada masyarakat. Hampir sebagiannya dikelola secara mandiri oleh para pegiat seni dan sisanya dikelola pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran berkesenian kota ini sangat besar. Demikian beberapa pandangan Katherine Bruhn, kandidat doktor dari Universitas California, Barkeley pada acara Public Lecture bertajuk Contemporery Arts and Creative Economy, Kamis (8/3/2018) di Ruang Seminar PLA lantai 3 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

“Seni rupa Yogyakarta merupakan kasus yang menarik untuk diteliti. Bidang ini sangat layak untuk dikembangkan,” ungkap Katherine yang sejak 2011 telah melakukan riset di Kota Budaya itu. Menurutnya, Yogyakarta menjadi unik bagi perkembangan seni rupa tidak sekedar karena memiliki infrastruktur yang memadai bagi pengenalan seni bagi masyarakat, tetapi Yogya baginya menjadi tempat bagi tumbuhnya komunitas-komunitas seni. “Potensi ini tidak banyak dimiliki kota lain,” tambahnya dalam acara yang dihelat atas kerja sama antara American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) dengan Fakultas Bahasa dan Seni UNY tersebut. AIFIS merupakan konsorsium dari universitas-universitas dan perguruan tinggi di Amerika yang mempunyai minat dalam pengembangan studi tentang Indonesia.

Gagasan Katherine Burhn tersebut diaminkan Dr. Hadjar Pamadhi, M.A.,Hons, dosen FBS UNY, yang juga menjadi pembicara dalam acara yang sama. Menurutnya, Yogyakarta menjadi semakin unik karena di kota ini semua wajah seni dapat dihadirkan. “Yogyakarta sanggup menghadirkan seni primitif, seni tradisional, hingga seni kontemporer,” ungkap peneliti sekaligus kepala Museum Pendidikan Indonesia, UNY. Menurutnya, Yogyakarta adalah ruang pameran seni yang paling luas. Malioboro, misalnya, dengan terbuka dapat diubah menjadi galeri pameran terbesar. Terobosan ini menjadikan masyarakat Yogyakarta menjadi lebih terbuka terhadap karya para seniman.

Diskusi yang dihadiri lebih dari 200 orang mahasiswa tersebut digelar untuk membuka wawasan dan kesadaran mahasiswa, terutama program studi Seni Rupa, untuk mengembangkan kapasitasnya. FBS UNY berharap menjadi bagian dari pengembangan industri kreatif. “Kita berharap program industri kreatif  menjadi nyata dan berkembang dengan baik,” jelas Dr. Maman Suryaman, selaku Wakil Dekan I FBS UNY dalam sambutannya. [dby]